Mengungkapkan sejarah perjuangan Darul
Islam di Indonesia, sama pentingnya dengan mengungkapkan kebenaran.
Sebab perjalanan sejarah gerakan ini telah banyak dimanipulasi, bahkan
berusaha ditutup-tutupi oleh penguasa. Rezim orde lama dan kemudian orde
baru, mengalami sukses besar dalam membohongi serta menyesatkan kaum
muslimin khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya dalarn memahami sejarah
masa lalu negeri ini.
Selama ini kita telah tertipu membaca
buku-buku sejarah serta berbagai publikasi sejarah perjuangan umat Islam
di Indonesia. Sukses besar yang diperoleh dua rezim penguasa di
Indonesia dalarn mendistorsi (mengaburkan) sejarah Darul Islam, adalah
munculnya trauma politik di kalangan umat Islam. Hampir seluruh kaum
muslimin di negeri ini, memiliki semangat untuk memperjuangkan agamanya,
bahkan seringkali terjadi hiruk pikuk di ruang diskusi maupun seminar
untuk hal tersebut. Tetapi begitu tiba-tiba memasuki pembicaraan
menyangkut perlunya mendirikan Negara Islam, kita akan menyaksikan
segera setelah itu mereka akan menghindar dan bungkam seribu bahasa.
Di
masa akhir-akhir ini, bahkan semakin banyak tokoh-tokoh Islam yang
menampakan ketakutannya terhadap persoalan Negara Islam. Mantan Ketua
Umum PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid misalnya, secara terus terang bahkan
rnengatakan : “Musuh utama saya adalah Islam kanan, yaitu mereka yang
menghendaki Indonesia berdasarkan Islam dan menginginkan berlakunya
syari’at Islam”. (Republika, 22 September 1998, hal. 2 kolom 5).
Selanjutnya ia katakan : “Kita akan menerapkan sekularisme, tanpa
mengatakan hal itu sekularisme”.
Salah satu partai berasas Islam
yang lahir di era reformasi, malah tidak bisa menyembunyikan
ketakutannya sekalipun dibungkus dalam retorika melalui slogan gagah:
“Kita tidak memerlukan negara Islam. Yang penting adalah negara yang
Islami”. Bahkan, dalam suatu pidato politik, presiden partai tersebut
mengatakan: “Bagi kita tidak masalah, apakah pemimpin itu muslim atau
bukan, yang penting dia mampu mengaplikasikan nilai-nilai universal
seperti kejujuran dan keadilan”.
Demikian besar ketakutan kaum
muslimin terhadap isu negara Islam, melebihi ketakutan orang-orang kafir
dan sekuler, sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa segala isme
(faham) atau pun Ideologi di dunia ini berjuang meraih kekuasaan untuk
mendirikan negara berdasarkan isme atau ideologi yang dianutnya.
Selama
32 tahun berkuasanya rezim Soeharto, sosialisasi tentang Negara Islam
Indonesia seakan terhenti. Oleh karena itu adanya bedah buku ataupun
terbitnya buku-buku yang mengungkapkan manipulasi sejarah ini, merupakan
perbuatan luhur dalam meluruskan distorsi sejarah yang selama
bertahun-tahun menjadi bagian dari khazanah sejarah bangsa.
Sejak
berdirinya Republik Indonesia, rakyat negeri umumnya telah ditipu oleh
penguasa hingga saat sekarang. Umat Islam yang menduduki jumlah
mayoritas telah disesatkan pemahamannya mengenai sejarah perjuangan
Islam itu sendiri. Sudah seharusnya, umat Islam menyadari bahwa di
Indonesia pernah ada suatu gerakan anak bangsa yang berusaha membangun
supremasi Islam, yaitu Negara Islam Indonesia yang berhasil
diproklamasikan, 7 Agustus 1949, dan berhasil mempertahankan
eksistensinya hingga 13 tahun lamanya (1949-1962). Namun rezim yang
berkuasa telah memanipulasi sejarah tersebut dengan seenaknya, sehingga
umat Islam sendiri tidak mengenal dengan jelas sejarah masa lalunya.
Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo, adalah sebuah nama yang cukup problematis dan
kontroversial di negara Indonesia, dari dulu hingga saat ini. Bahwa dia
dikenal sebagai pemberontak, harus kita luruskan. Bukan saja demi
membetulkan fakta sejarah yang keliru atau sengaja dikelirukan, tetapi
juga supaya kezaliman sejarah tidak terus berlanjut terhadap seorang
tokoh yang seharusnya dihormati.
Semasa Orla berkuasa, yang
merupakan puncaknya perjuangan Negara Islam Indonesia, SM. Kartosoewirjo
memang dikenal sebagai pemberontak. Tetapi fakta yang sebenarnya
adalah, Kartosoewirjo sesungguhnya beliau adalah seorang mujahid dan
mujadid, lebih dari apa yang dilakukan oleh Soekarno dan tokoh-tokoh
nasionalis lainnya. Pada waktu Soekarno bersama tentara Republik pindah
ke Yogyakarta sebagai akibat dari perjanjian Renville, yang menyebutkan
bahwa wilayah Indonesia hanya tinggal Yogya dan sekitarnya saja, dan
wilayah yang masih tersisa itu pun, dipersengketakan antara Belanda dan
Indonesia, sehingga pada waktu itu nyaris Negara Kesatuan Republik
Indonesia sudah tidak ada lagi. Dan yang ada hanyalah negara-negara
serikat, baik yang sudah terbentuk, atau pun yang masih dalam proses
melengkapi syarat-syarat kenegaraan. Seperti Jawa Barat, ketika itu
dianjurkan oleh Belanda supaya membentuk Negara Pasundan, namun belum
terbentuk sama sekali, karena belum adanya kelengkapan kenegaraan.
Ketika
segala peristiwa yang telah disebutkan di atas, mempengaruhi atmosfir
politik Nusantara, pada saat itu Indonesia dalam keadaan vacuum of
power. Pada saat itulah, Soekarno memerintahkan semua pasukan untuk
pindah ke Yogyakarta berdasarkan perjanjian Renville. Guna memberi
legitimasi Islami, dan untuk menipu umat Islam Indonesia dalam
memindahkan pasukan ke Yogya, Soekarno telah memanipuiasi terrninologi
al-Qur’an dengan menggunakan istilah “Hijrah” untuk menyebut pindahnya
pasukan Republik, sehingga nampak lslami dan tidak terkesan melarikan
diri. Namun S.M. Kartosoewirjo dengan pasukannya tidak mudah tertipu,
dan menolak untuk pindah ke Yogya. Bahkan bersama pasukannya, ia
berusaha mempertahankan wilayah Jawa Barat, dan menamakan Soekarno dan
pasukannya sebagai pasukan liar yang kabur dari medan perang.
Jauh
sebelum kemerdekaan, yaitu pada tahun 1930-an, istilah “Hijrah” sudah
pernah diperkenalkan, dan dipergunakan.sebagai metode perjuangan modern
yang brillian oleh S.M. Kartosoewirjo, berdasarkan tafsirnya terhadap
sirah Nabawiyah. Ketika itu, pada tahun 1934 telah muncul dua metode
perjuangan yaitu cooperatif dan non cooperatif. Metode non cooperatif,
artinya tidak mau masuk ke dalam parlemen dan bekerja sama dengan
pemerintah Belanda namun bersifat pasif, tidak berusaha menghadapi
penguasa yang ada. Metode ini sebenarnya dipengaruhi aleh politik
SWADESI, politik Mahatma Gandhi dari India. Lalu muncullah S.M.
Kartosoewirjo dengan metode Hijrah, sebuah metode yang berusaha
membentuk komunitas sendiri, tanpa kerjasama dan aktif, berusaha untuk
melawan kekuatan penjajah.
Akan tetapi, pada waktu itu, metode
ini dikecam keras oleh Agus Salim, karena menganggap S.M. Kartosoewirjo
menerapkan metode hijrah ini di dalam suatu masyarakat yang belum melek
politik. Sehingga ia kemudian berusaha menanamkan politik dan metode
hijrah itu kepada anggota PSII pada khususnya. Dengan harapan setelah
memahami politik, mereka mau menggunakan metode ini, karena paham
politik sangat penting.
Namun, Agus Salim menolaknya, karena ia
tidak setuju dengan politik tersebut. Menurutnya rakyat atau anggota
partai hanyalah boleh mengetahui masalah mekanisme organisasi tanpa
mengetahui konstelasi politik yang sedang berlangsung, dan hanya elit
pemimpin saja yang boleh mengetahui. Sedangkan “Hijrah ” adalah berusaha
menarik diri dari perdebatan politik, kemudian berusaha membentuk
barisan tersendiri dan berusaha dengan kekuatan sendiri untuk
mengantisipasi sistem perjuangan yang tidak cukup progresif dan tidak
Islami. Faktor inilah yang menjadi awal perpecahan PSII, yaitu
melahirkan PSII Hijrah yang memakai metode hijrah dan PSII Penyadar yang
dipimpin Agus Salim.
Walaupun metode Hijrah, bagi sebagian tokoh
politik saat itu, terlihat mustahil untuk digunakan sebagai metode
perjuangan, namun ternyata dapat berjalan efektif pada tahun 1949 dengan
terbentuknya Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan di bawah
bendera Bismillahirrahmaniirrahim. Sehingga pantaslah, jika kita tidak
memperhatikan rangkaian sejarah sebelumnya secara seksama, memunculkan
anggapan bahwa berdirinya Negara Islam Indonesia berarti adanya negara
di dalam negara, karena Proklamasi RI pada tahun 1945 telah lebih dahulu
dilakukan.
Namun sebenarnya jika kita memahami sejarah secara
benar dan adil, maka kedudukan Negara Islam Indonesia dan RI adalah
negara dengan negara. Karena negara RI hanya tinggal wilayah Yogyakarta
waktu itu, sementara Negara Islam Indonesia berada di Jawa Barat dan
mengalami ekspansi (pemekaran) wilayah. Daerah Jawa Tengah, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh mendukung berdirinya Negara Islam
Indonesia. Dan dukungan itu bukan hanya berupa pernyataan atau retorika
belaka, tapi ikut bergabung secara revolusional. Barangkali benar, bahwa
Negara Islam Indonesia adalah satu-satunya gerakan rakyat yang disambut
demikian meriah di beberapa daerah di Indonesia.
Melihat
sambutan yang gemilang hangat dari saudara muslim lainnya, maka rezim
Soekarno berusaha untuk menghambat tegaknya Negara Islam Indonesia
bersama A.H. Nasution, seorang tokoh militer beragama Islam yang
dibanggakan hingga sekarang, tetapi ternyata mempunyai kontribusi yang
negatif dalam perkembangan Negara Islam Indonesia. Dia bersama Soekarno
berusaha menutupi segala hal yang memungkinkan S.M. Kartosoewirjo dan
Negara Islam Indonesia kembali terangkat dalam masyarakat, seperti
penyembunyian tempat eksekusi dan makam mujahid Islam tersebut.
Tampaklah
sekarang bahwa sebenarnya penguasa Orla dan Orba, telah melakukan
kejahatan politik dan sejarah sekaligus, yang dosanya sangat besar yang
rasanya sulit untuk dimaafkan. Mungkin bisa diumpamakan, hampir sama
dengan dosa syirik dalam pengertian agama, yang merupakan dosa terbesar
dalam Islam. Karena perilaku politik yang mereka pertontonkan, telah
menyesatkan masyarakat dalam memahami sejarah perjuangan Islam di
Indonesia dengan sebenarnya. Berbagai rekayasa politik untuk
memanipulasi sejarah telah dilakukan sampai hal yang sekecil-kecilnya
mengenai perjuangan serta pribadi S.M. Kartosoewirjo. Seperti pengubahan
data keluarganya, tanggal dan tahun lahirnya. Semua itu ditujukan agar
SMK dan Negara Islam Indonesia jauh dari ingatan masyarakat.
Sekalipun
demikian, S.M. Kartosoewirjo tidak berusaha membalas tindakan dzalim
pemerintah RI. Pernah suatu ketika Mahkamah Agung (Mahadper) menawarkan
untuk mengajukan grasi (pengampunan) kepada presiden Soekarno, supaya
hukuman mati yang telah dijatuhkan kepadanya dibatalkan, namun dengan
sikap ksatria ia menjawab,” Saya tidak akan pernah meminta ampun kepada
manusia yang bernama Soekarno”.
Kenyataan ini pun telah
dimanipulasi. Menurut Holk H. Dengel dalam bukunya berbahasa Jerman, dan
dalam terjemahan Indonesia berjudul: “Darul Islam dan Kartosoewirjo,
Angan-angan yang gagal”, mengakui bahwa telah terjadi manipulasi data
sejarah berkenaan dengan sikap Kartosoewirjo menghadapi tawaran grasi
tersebut. Tokoh sekaliber Kartosoewirjo tidak mungkin minta maaf, namun
ketika kita baca dalam terjemahannya yang diterbitkan oleh Sinar Harapan
telah diubah sebaliknya, bahwa Kartosoewirjo meminta ampun kepada
Soekamo, dan kita tahu Sinar Harapan adalah bagian dari kekuatan Kristen
yang bahu-membahu dengan penguasa sekuter dalam mendistorsi sejarah
Islam.
Dalam majalah Tempo 1983,
pernah dimuat kisah seorang petugas eksekusi S.M. Kartosoewirjo, yang
menggambarkan sikap ketidak pedulian Kartosoewirjo atas keputusan yang
ditetapkan Mahadper RI kepadanya. la mengatakan bahwa 3 hari sebelum
hukuman mati dilaksanakan, Kartosoewirjo tertidur nyenyak, padahal
petugas eksekusinya tidak bisa tidur sejak 3 hari sebelum pelaksanaan
hukuman mati. Dari sinilah akhirnya diketahui kemudian dimana pusara
Kartosoewirjo berada, yaitu di pulau Seribu.
Usaha untuk
mengungkapkan manipulasi sejarah adalah sangat berat. Satu di antara
fakta sejarah yang dimanipulasi, adalah untuk mengungkap kebenaran
tuduhan teks proklamasi dan UUD Negara Islam Indonesia adalah jiplakan
dari proklamasi Soekarno-Hatta. Yang sebenarnya terjadi justru
kebalikannya.
Ketika Hiroshima dan Nagasaki di bom (6 - 9 Agustus
1945) S.M. Kartosoewirjo sudah tahu melalui berita radio, sehingga ia
berusaha memanfaatkan peluang ini untuk sosialisasi proklamasi Negara
Islam Indonesia. la datang ke Jakarta bersama pasukan Hisbullah dan
mengumpulkan massa guna mensosialisasikan kemungkinan berdirinya Negara
Islam Indonesia, dan rancangan konsep proklamasi Negara Islam Indonesia
kepada masyarakat. Sebagai seorang tokoh nasional yang pernah ditawari
sebagai menteri pertahanan muda yang kemudian ditolaknya, melakukan hal
ini tentu bukan perkara sulit. Salah satu di antara massa yang hadir
dalam pertemuan tersebut adalah Sukarni dan Ahmad Subarjo.
Mengetahui
banyaknya dukungan terhadap sosialisasi ini, mereka menculik
Soekamo-Hatta ke Rengasdengklok agar mempercepat proklamasi RI sehingga
Negara Islam Indonesia tidak jadi tegak. Bahkan dalam bukunya, Holk H.
Dengel menyebutkan tanggal 14 Agustus 1945 Negara Islam Indonesia telah
di proklamirkan, tetapi yang sebenarnya baru sosialisasi saja. Ketika di
Rengasdengklok Soekamo menanyakan kepada Ahmad Soebardjo, sebagaimana
ditulis Mr. Ahmad Soebardjo dalam bukunya
“Lahirnya Republik Indonesia”.Pertanyaan Soekarno itu adalah: “Masih ingatkah saudara, teks dari bab Pembukaan Undang-Undang Dasar kita?”
“Ya saya ingat, saya menjawab,”Tetapi tidak lengkap seIuruhnya”.
“‘Tidak mengapa,” Soekarno bilang, “Kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut Proklamasi dan bukan seluruh teksnya”.
Soekarno
kemudian mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuai dengan apa yang
saya ucapkan sebagai berikut : “Kami rakyat Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaan”.
Jika kesaksian Ahmad Soebardjo ini benar,
jelas tidak masuk akal, karena kita tahu bahwa UUD 1945 baru disahkan
dan disetujui tanggal 18 Agustus 1945 setelah proklamasi. Sehingga
pertanyaan yang benar semestinya adalah, “Masih ingatkah saudara akan
sosialisasi proklamasi Negara Islam Indonesia?” Maka wajarlah jika
naskah Proklamasi RI Yang asli terdapat banyak coretan. Jelaslah bahwa
ternyata Soekarno-Hatta yang menjiplak konsep naskah proklamasi Negara
Islam Indonesia, dan bukan sebaliknya. Memang sedikit sejarawan yang
mengetahui mengenai kebenaran sejarah ini. Di antara yang sedikit itu
adalah Ahmad Mansyur Suryanegara, beliau pernah mengatakan bahwa S.M.
Kartosoewirjo pernah datang ke Jakarta pada awai Agustus 1945 bersama
pasukan Hizbullah dan Sabilillah.
“Sebenarnya, sebelum hari-hari
menjelang proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945, Kartosoewirjo telah
lebih dahulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan Islam, ketika
kedatangannya pada awal bulan Agustus setelah mengetahui bahwa
perseteruan antara Jepang dan Amerika memuncak dan menjadi bumerang bagi
Jepang. la datang ke Jakarta bersama dengan beberapa orang pasukan
laskar Hisbullah, dan segera bertemu dengan beberapa elit pergerakan
atau kaum nasionalis untuk memperbincangkan peluang yang mesti diambil
guna mengakhiri dan sekaligus mengubah determinisme sejarah rakyat
Indonesia. Untuk memahami mengapa pada tanggal 16 Agustus pagi Hatta dan
Soekamo tidak dapat ditemukan di Jakarta, kiranya Historical Inquiry
(penelitian sejarah) berikut ini perlu diajukan: Mengapa Soekarno dan
Hatta mesti menghindar begitu jauh ke Rengasdengklok padahal Jepang
memang sangat menyetujui persiapan kemerdekaan Indonesia? Mengapa ketika
Soebardjo ditanya Soekarno, apakah kamu ingat pembukaan Piagam Jakarta?
Mengapa jawaban yang diberikan dimulai dengan kami bangsa Indonesia …?
Bukankah
itu sesungguhnya adalah rancangan Proklamasi yang sudah dipersiapkan
Kartosoewirjo pada tanggal 13 dan 14 Agustus 1945 kepada mereka? Pada
malam harinya mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda, yaitu
Soekarni dan Ahmad Soebardjo, ke garnisun PETA di Rengasdengklok, sebuah
kota kecil yang terletak disebelah barat kota Karawang, dengan dalih
melindungi mereka bilamana meletus suatu pemberontakan PETA dan HEIHO.
Ternyata tidak terjadi suatu pemberontakan pun, sehingga Soekamo dan
Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan suatu usaha memaksa
mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang,
tujuan ini mereka tolak.
Laksamana Maida mengirim kabar bahwa
jika mereka dikembalikan dengan selamat maka dia dapat mengatur agar
pihak Jepang tidak menghiraukan bilamana kemerdekaan dicanangkan. Mereka
mempersiapkan naskah proklamasi hanya berdasarkan ingatan tentang
konsep proklamasi Islam yang dipersiapkan SM. Kartosoewirjo pada awal
bulan Agustus 1945. Maka, seingat Soekarni dan Ahmad Soebardjo, naskah
itu didasarkan pada bayang-bayang konsep proklamasi dari S.M.
Kartosoewirjo, bukan pada konsep pembukaan UUD 1945 yang dibuat oleh
BPUPKI atau PPKL”
Demikianlah, berbagai manipulasi sejarah yang
ditimpakan kepada Darul Islam dan pemimpinnya, sedikit demi sedikit
mulai tersibak, sehingga dengan ini diharapkan dapat membuka cakrawala
berfikir dan membangun kesadaran historis para pembaca. Lebih dari itu,
upaya mengungkap manipulasi sejarah Negara Islam Indonesia yang
dilakukan semasa orla dan orba oleh para sejarawan merupakan suatu
keberanian yang patut didukung, supaya pembaca mendapatkan informasi
yang berimbang dari apa yang selama ini berkembang luas.
Karni
bersyukur kepada Allah Malikurrahman atas antusiame generasi muda Islam
dalam menerima informasi yang benar dan obyektif mengenai sejarah
perjuangan menegakkan Negara Islam dan berlakunya syari’at Islam di
negeri ini. Semoga Allah memberi hidayah dan kekuatan kepada kita semua,
sehingga perjuangan menjadikan hukum Allah sebagai satusatunya sumber
dari segala sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara segera
terwujud di Indonesia yang, menurut sensus adalah negara yang
penduduknya mayoritas beragama Islam. Amin, Ya Arhamar Rahimin !
Proklamasi Negara Islam Indonesia
Perjuangan
panjang yang melatar belakangi Iahirnya Negara Islam Indonesia, dimulai
dari Syarikat Dagang Islam oleh H.O.S. Cokroaminoto (1905) yang
kemudian berkembang menjadi Syarikat Islam (1912), kemudian berkembang
menjadi organisasi politik yang menghendaki berdirinya sebuah negara
pada 1927 dengan mengubah diri menjadi PSII (1927), dan mencapai titik
kematangan pada diresmikannya sikap hijrah yang dirumuskan S.M.
Kartosoewirjo sebagai Wakil Presiden PSII pada tahun 1936, kemudian
mengalami pensaringan ideologis pada tahun 1940, sehingga lahir
KPK-PSII. Setelah itu pembentukan kader-kadee negarawan digodog di
Institut Suffah di bawah pimpinan langsung S.M. Kartosoewirjo, sampai
akhirnya Institut Suffah menjadi pusat pelatihan militer dengan masuknya
Jepang ke Indonesia, yang berhasil melahirkan kader-kader Hizbullah dan
Sabilillah yang tetap bertahan di Jawa Barat sekalipun TNI `hijrah’ ke
Jogja.
Ketika RI diproklamasikan, kegiatan “Pro-Negara Islam”
tetap berjalan, walaupun tidak memperoleh publisitas, koran-koran ketika
itu lebih memburu peristiwa hangat dipermukaan dari pada perkembangan
janin Negara Islam Indonesia di 3 kabupaten (Garut, Tasik, Ciamis).
Ketika
perjuangan RI menandatangani perjanjian Renvile, maka geliat gerakan
ini mulai nampak di permukaan, pada tanggal 10-11 Februari 1948 di desa
Pangwedusan Distrik Cisayong, di mana harus hadir 160 wakil-wakii
organisasi Islam daerah Priangan. Dalam Konferensi Cisayong ini
dicetuskan tuntutan agar pemerintah RI membatalkan Perjanjian Renville,
jika tidak maka akan dipersiapkan negara baru berasas Islam di Jawa
Barat.
Keputusan terpenting yang diambil dalam konferensi di
Cisayong adalah membekukan Masjumi di Jawa Barat dan semua cabangnya dan
“membentuk pemerintah daerah dasar di Jawa Barat yang harus dita’ati
oleh seluruh umat Islam di daerah tersebut”, serta mendirikan Tentara
Islam Indonesia (TII). Daiam pemerintah dasar Jawa Barat yang diusulkan
ini - Majelis Islam atau kadang-kadang disebut juga Majelis Umat Islam -
organisasi-organisasi Islam yang ada harus bergabung. Ini akan
menggantikan kedua Majelis Islam yang telah ada, yang didirikan di Garut
dan Tasikmalaya pada tahun sebelumnya, yang sedikit banyak dibentuk
atas garis yang sama. Ketua Majelis Islam ini adalah Kartosoewirjo
sendiri yang juga bertanggung jawab dalam masalah pertahanan. Sebagai
sekretaris diangkat Supradja, dan sebagai bendahara Sanusi Partawidjaja,
sedangkan bidang penerangan dan kehakiman masing-masing dikepalai Toha
Arsjad dan Abdul Kudus Gozali Tusi.
Pada pertengahan bulan
Februari 1948 dilangsungkan suatu pertemuan lain dengan tujuan
memberikan bentuk yang kongkret kepada Tentara Islam Indonesia. Tidak
hanya dibentuk Tentara Islam Indonesia yang sebenarnya, tetapi juga
sejumlah korps khusus seperti Baris (Barisan Rakyat Islam) dan PADI
(Pahlawan Darul Islam). Juga dibentuk Pasukan pasukan Gestapu. Markas
besarnya didirikan di Gunung Cupu, pangkalan pasukan Sabilillah yang
dipimpin oleh R. Oni. Sedang R. Oni sendiri diangkat menjadi komandan
daerah Tentara Islam Indonesia untuk Priangan. Dia juga menjadi komandan
PADI, demikian pula menjadi kepala pasukan polisi rahasia Mahdiyin yang
berarti terpimpin secara benar. Juga dibentuk korps polisi biasa.
Mulanya badan ini disebut Badan Keamanan Negara, tetapi namanya diubah
menjadi Polisi Islam Indonesia.
Pada tanggal 1-2 Maret 1948
diadakan konferensi di Cipeundeuy/Banturujeg di daerah Cirebon yang
dihadiri oleh semua pimpinan cabang-cabang Masjumi daerah Jawa Barat
seperti dari Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, Cirebon, dan juga para
komandan TH. Selain Kartosoewirjo hadir juga Sanusi Partawidjaja, R.
Oni, Toha Arsjad, Agus Abdullah, Djamil, Kiai Abdul Halim dan wakil
cabang Masjumi Jakarta Gozali Tusi. Ketika semua peserta konferensi
hadir Kamran membuka acara tersebut. Dalam acara itu Sanusi Partawidjaja
menjelaskan keputusan-keputusan konferensi di Pangwedusan, Oni
menerangkan peleburan Tentara Hizbullah dan Sabilillah menjadi Tentara
Islam Indonesia.
Ketika konferensi dilanjutkan pada hari berikutnya,
semua keputusankeputusan Pangwedusan disetujui dan Kartosoewirjo
ditetapkan sebagai Imam di Jawa Barat. Keputusan berikutnya adalah
Hizbullah Cirebon dilebur menjadi TII dan Kamran diangkat menjadi
panglima Divisi. Selanjutnya Kartosoewirjo selaku Imam di Jawa Barat
mengangkat tujuh anggota pimpinan pusat. Pimpinan Pusat tersebut dibagi
tiga dan susunannya adalah sebagai berikut:
- Bagian agama terdiri dari Alim Ulama yang “modern”, yaitu Kiai Abdul Halim dan K.H. Gozali Tusi.
- Bagian politik terdiri dari Sanusi Partawidjaja dan Toha Arsjad.
- Bagian militer terdiri dari Kamran dan R. Oni.
Ketujuh
orang ini diintruksikan melalui keputusan rapat tersebut untuk menjadi
pemimpin yang bertanggungjawab di seluruh Jawa Barat “hingga di seluruh
Indonesia kelak”. Kemudian dari hasil rapat tersebut juga ditetapkan
suatu “Program Politik Umat Islam” yang terdiri dari butir-butir berikut
ini:
- Memboeat brasoer tentang pemetjahan politik pada
dewasa ini ja’ni perloenja lahir satce negara baroe, ja’ni Negara Islam.
Pengarang Kartosoewirjo (oentoek disiarkan ke seloeroeh Indonesia).
- Mendesak
kepada pemerintah Poesat Repoeblik Indonesia agar mernbatalkan semoea
peroendingan dengan Belanda Kalau tida’ moengkin, lebih baik Pemerintah
diboebarkan seloeroehnja dan dibentoek soeatoe pemerintah baroe dengan
dasar Democratie jang sempoerna (Islam).
- Mengadakan persiapan
oentoek membentoek soeatoe Negara Islam jang akan dilahirkan, bilamana:
Negara Djawa Barat a la Belanda lahir, atau Pemerintah Repoeblik
Indonesia boebar.
- Tiap-tiap daerah jang telah kita koeasai sedapat-dapat kita atoer dengan peratoeran Islam, dengan seidzin dan petoendjoek Imam.
Selain
itu dibuat juga suatu “Daftar Oesaha Tjepat ” yang harus menerangkan
kepada rakyat bahwa perjanjian dengan Belanda tidak akan membawa
kemerdekaan bagi Indonesia. Juga seluruh pegawai Republik dan semua Umat
Islam yang bekerja untuk Belanda, begitu juga semua kepala desa yang
berada atau tidak berada dibawa kekuasaan Belanda, supaya secepat
mungkin “berjiwa Islam”.
Ditetapkan juga untuk memperhebat penerangan
tentang tauhid, amal saleh dan semangat berkorban hingga rakyat patut
menjadi “warga negara Islam”. Selain itu dengan segala daya upaya faham
Jihad dan `amal saleh harus diperdalam dan dipertinggi.
Sampai
pada saat itu Kartosoewirjo beserta umat Islam masih berharap untuk
dapat merealisasikan cita-citanya, yaitu pendirian Negara Islam secara
legal, walaupun belum diproklamasikan secara terang-terangan, namun
tidak pernah lenyap dari rencana umat Islam Jawa Barat yang akan
dipersiapkan kelahirannya. Struktur militer dan pemerintah yang disusun
Kartosoewirjo dan Oni, jelas dimaksudkan sebagai sebuah pemerintahan
Islam yang akan menggantikan Pemerintahan Republik jika kalah dalam
perang melawan Belanda.
Pada tanggal 1-5 Mei 1948 kembali
diadakan konferensi yang ketiga di Cijoho, hasil terpenting yang
diputuskan dalam rapat tersebut adalah perubahan nama Madjedis Islam
Pusat menjadi Madjlis Imamah (kabinet) di bawah pimpinan Kartosoewirjo
sebagai Imam. Madjlis Imamah itu terdiri dari lima “kementerian” yang
dipimpin oleh masing-masing seorang kepala Madjlis, kelima Madjlis
tersebut adalah:
1 Majelis Penerangan di bawah pimpinan : Toha Arsjad
2 Majelis Keuangan di bawah pimpinan : S.Partawijaya
3 Majelis Kehakiman di bawah pimpinan : K.H Gozali Tusi
4 Majelis Pertahana di bawah pimpinan : S.M. Kartosoewirjo.
5 Madjlis Dalam Negeri di bawah pimpinan: S. Partawidjaja.
Anggota
Madjlis Imamah adalah Kamran sebagai Komandan Divisi TII Syarif Hidajat
dan Oni sebagai Komandan Resimen Sunan Rachmat. Di samping itu dibentuk
pula Madjlis Fathwa yang dipimpin oleh seorang Mufthi Besar, dan
anggota-anggotanya terdiri dari para Mufthi. Tugas Madjtis Fathwa ini
sebagai penasehat Imam. Keputusan penting lainnya adalah mendirikan dan
menguasai satu “Ibu Daerah Negara Islam”, yaitu suatu daerah di mana
berlaku “kekuasaan dan hukum-hukum agama Islam”, yang mana daerah ini
dinamakan Daerah I (D.I), daerah di luar Daerah I dibagibagi menjadi
Daerah II (D.II) yang hanya setengahnya dikuasai oleh umat Islam dan
Daerah III (D.III), ialah daerah yang masih dikuasai oleh pihak bukan
Islam (Belanda).
Pada tanggal 25 Agustus 1948, dikeluarkan
Maklumat Imam No. I yang mempermaklumkan hadirnya pemerintahan Islam di
Jawa Barat, dengan dipimpin oleh S.M Kartosoewirjo sebagai Imam
Pemerintah Islam Indonesia, bentukan Majlis Islam. Struktur militer dan
pemerintah yang disusun S.M. Kartosuwiryo sebagai Imam Pemerintah Islam
Indonesia, bentukan Majelis Islam. Struktur militer dan pemerintah yang
disusun S.M Kartosuwiryo dan Oni, jelas dimaksudkan sebagai sebuah
pemerintahan Islam yang akan menggantikan pemerintahan Republik jika
kalah dalam perang melawan Belanda.
Organisasi Negara Islam
Indonesia dalam masa perang tersebut adalah organisasi yang darurat,
namun masih menjalankan fungsi-fungsi organisasi secara sangat mantap.
Gerakan ini merupakan gerakan yang sangat rapi dalam hal dokumentasi,
birokrasi dan administrasinya. Pelaksanaan hukum (termasuk hukum
pidana), mulai tahun 1949 adalah hukum Islam dalam masa perang sesuai
dengan Al Qur’an Surah A1 Baqarah ayat 216. Oleh karenanya Negara Islam
Indonesia ketika itu masih disebut sebagai Darul Islam fa waqtil Harbi.
Dalam masa pembentukan struktur pertama pun, struktur organisasi Negara
Islam Indonesia bermula dari sebuah titik kekuasaan dan manajemen, baru
kemudian terbagi dalam komandemen.
Organisasi Negara Islam
Indonesia merupakan organisasi yang kaku dengan perubahan-perubahan yang
mirip sebuah metamorfosa yang pada akhirnya menuju pada suatu
konvergensi “sebuah negara” dengan luas wilayah meliputi seluruh
Indonesia. Sejak dari awai Kartosoewirjo merencanakan agar negara Islam
yang dia dirikan suatu waktu akan meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Juga seluruh skema organisasi kenegaraan dan administrasi dicocokkan
dengan rencana tersebut sehingga gerakan DI Kartosoewirjo merupakan
gerakan Darul Islam dengan nrganisasi dan administrasi yang paling baik.
Struktur
kekuasaan Negara Islam Indonesia tergambar dalam qanun azazi
(Undang-Undang Dasar). Struktur Kekuasaannya menggabungkan antara
elernen sipil dan militer sekaligus di dalam suatu komandemen.
Kepentingan Negara Islam Indonesia ketika itu juga disesuaikan dengan
keadaan politik dan militer ketika itu. Sehingga Kartosoewirjo
memerintahkan, “ahli politik harus dipermiliterkan, dan ahli militer
harus diperpolitikkan.” Sementara itu, lembaga legislatifnya tetaplah
yang tertinggi dan sekaligus memimpin negara.
Berdasarkan
Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) APNII No. l, struktur Negara Islam
Indonesia mengalami reorganisasi yang membawa penyederhanaan sistern
administrasi secara menyeluruh yang hanya terdiri dari 5 komandemen.
Fase-fase
dalam perjuangan Negara Islam Indonesia merupakan sebuah proses
metamorfosis yang sangat progresif. Hal ini tercermin dari proses
restrukturisasi atau reorganisasi baik militer rnaupun sipil, baik
teritorial maupun strategis yang senantiasa berubah mengikuti
perkembangan dan kemajuan waktu. Dari awalnya, meski konsep qanun azazi
dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah teratur sempurna, akan tetapi
belum terpakai efektif. Saat itu, fasenya adalah fase perang, sehingga
mulai tahun 1949 hukum hanya dijalankan dengan pertimbangan perang dan
belum ada yang sah untuk dilakukan berdasarkan hukum positif.
Pembabakan
masa perjuangan ini didasarkan pada petunjuk dari perkembangan wilayah
yang dikuasai. Memang dalam Islam, kekuasaan tentara Jalut yang raksasa
dapat ditumbangkan oleh barisan tentara Daud yang kecil adalah karena
kekuasaan tentara Jalut dihabisi dari pinggiran. Wilayah musuh, dalam
konsep Islam juga dimasuki dan dikuasai dari pinggir-pinggirnya:
“Apakah
mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi (daerah-daerah
orang kafir) lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit)
dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendakNya),
tidak ada yang dapat menolak ketetapanNya; dan Dialah yang Maha Cepat
hisabNya. ” (AIQur’an, Ar-Ra’d 41).
Karena periodisasi gerakan
ini tergantung dari kemajuan luas wilayah yang bisa diperoleh, maka
perkembangannya akan tergantung dari seberapa luas daerahnya.
Berjalannya waktu haruslah diukur dengan “prestasi” perolehan wilayah
dan tentunya, perencanaan “waktu kemenangan akhir” adalah juga
perencanaan tentang kapan akan dikuasainya Indonesia. Ini bagian bagian
demi bagian. Keputusan penting yang dilahirkan pada tahun 1948, setelah
mendirikan Madjelis Imamah, maka didirikan dan sekaligus dikuasai satu
“Ibu Daerah Negara Islam” (Ibukota) yaitu suatu daerah di mana “berlaku
kekuasaan dan hukum-hukum agama Islam”, dan diberi nama Daerah I dengan
singkatan D-I. Sedangkan daerah-daerah di luar Daerah I dibagi-bagi
rnenjadi Daerah II (D-It) yang hanya setengahnya dikuasai oleh umat
Islam dan Daerah III (D-III), ialah daerah yang masih dikuasai oleh
pihak bukan Islam. Kewajiban para pemimpin di daerah ini adalah
mempertahankan daerah yang dikuasai serta meluaskan daerah itu dan
berusaha menghubungkan Daerah I dengan Daerah II sehingga Daerah II
menjadi Daerah
1. Begitu Juga kewajiban pemimpin di Daerah II
untuk menghubungkan Daerah II dengan Daerah III sehingga Daerah III
menjadi Daerah II. Sedangkan kewajiban umat Islam di Daerah II adalah
mengusahakan dengan segala cara untuk menarik simpati semua penduduk
yang perlu diperbaharui komitmennya terhadap Islam, sehingga mereka
sadar akan kewajibannya untuk mendukung perjuangan NIT. Pembentukan tiga
daerah (D-I, D-II, D-III) sudah merupakan tiga periode, sementara
proses peralihan dari D-III ke D-II, satu periode; proses peralihan D-II
ke D-I atau satu periode; sementara proses D-I matang menjadi “DI” satu
periode; semuanya enam periode. Belum diketahui secara rinci
tahun-tahun yang dilalui dari setiap periode.
Dengan demikian,
sekalipun RI meninggalkan Jawa Barat, di Jawa Barat telah tersusun
sebuah pemerintahan baru yang independen dan tegar menolak kedau(atan
Belanda. Pada tanggal 25 Agustus 1948 keluarlah Maklumat yang pertama
dari Pemerintah Islam Indonesia yang isinya “mengingat bahwa keadaan
dewasa ini adalah keadaan perang menghadapi keganasan dan kezaliman jang
didakoekan oleh tentara Belanda serta menimbang bahwa tiap-tiap Oemmat
Islam wadji6 melakoekan Djihcrd fi .sabilillah, oentoek menolak
tiap-tiap kedjahatan dan kezaliman dan menegakkan keadilan dan kebenaran
maka memoetoeskan seloeroeh pimpinan sipil dari Residen sampaf kepala
desa, begitoe poela pimpinan oemmat di daerah sampai di desa diberi
toegas sebagai Komandan Pertahanan di daerahnja masingmasing. S’elaeroeh
kepala ketentaraan di desa, Ketjamatan dan selandjoetnja, diberi toegas
sebagai Komando dan Pertempoeran di tempatnja masing-masing “.
Dan
dua hari kemudian tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1948 diadakan
penyusunan “Qanun Asasi” yaitu Undang-undang Dasar Negara Islam
Indonesia dan teiah selesai. Sementara itu dalam maklumat berikutnya
yang keluar pada tanggal 28 Oktober 1948, diumumkan perubahan susunan
Dewan Imamah. Berhubung dengan perubahan suasana politik dunia dan
pergeseran serta peralihan lapangan, sifat dan corak perjuangan politik
militer di Indonesia pada dewasa ini, maka dengan secara referendum
antara anggota-anggota Dewan Imamah pada tanggal 6 Oktober 1948 telah
diambil beberapa keputusan, yang mengubah seluruh susunan Pimpinan
Negara dan Pimpinan Tentara, serta siasat perjuangan kedepan, menuju
kepada Mardhatillah, yang berwujudkan Dunia Islam (Darul Islam) di dunia
yang fana ini dan Darussatam di Akhirat yang baqa kelak.
Pada
tanggal 18 Desember 1948, pukul 23.30 Dr. Beel Wakil Tinggi Mahkota
Belanda, penganti Van Mook memberitahukan pada delegasi RI dan KTN bahwa
Belanda tidak lagi mengakui dan terikat pada persetujuan Renville. Dan
pasukan Belanda menyerbu daerah Republik dan rnernulai Agresi Militer
yang kedua. Kota Yogyakarta diserang oleh Belanda dari darat dan udara,
dalam waktu yang cepat Belanda telah berhasil pula menawan anggota
kabinet Republik di antaranya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.
Hatta yang kemudian ditawan ke Rantau-Prapat dan Bangka. “… dia bersama
banyak pemimpin lain termasuk Hatta, Sjahrir dan Suryadarma memilih
untuk mengibarkan bendera putih don menyerah. “
Adapun reaksi
S.M. Kartosoewirjo terhadap perkembangan terbaru ini, dia mengumumkan
Jihad Fi Sabitillah, sampai semua musuh-musuh Islam, rakyat dan Allah
berhasil diusir dan Negara Kurnia Allah, “Negara Islam Indonesia (NII),
dapat didirikan.
S.M. Kartosoewirjo menyerukan pentingnya satu
kesatuan komando dan kesatuan pimpinan untuk menghindarkan politik
“Divide et impera ” Belanda di masa yang akan datang. Dan dia
menerangkan, bahwa dia sebagai pimpinan Negara Islam Indonesia yakin
akan sanggup untuk memegang kesatuan komando itu. Maka diumumkan kembali
melalui maklumatnya No.6 tanggapan mengenai kejatuhan pemerintah
Republik Indonesia yang isinya antara lain : “Pada tanggal 18-19
Desember 1948, tentara Belanda telah moelai menjerboe daerah Repoeblik
dan pada tanggal 19 Desember 1948
Pembesar-pembesar Pemerintah
Repoeblik soedah djatoeh di tangan Belanda, ditangkap dan ditawan.
Dengan adanja kedjadian dan peristiwa jang amat pahit itoe, maka
djatoehlah Repoeblik sebagai Negara.
Djangan dikira, bahwa dengan
djatoehnja Pemerintah Repveblik (Soekarno-Hatta) dan ditandatanganinja
soeatoe naskah keadaan akan aman dan tenteram, rakjat akan makmoer dan
sveboer.
Tidak, sekali-kali tidakl Melainkan djatoehnja Pemerintah
Repaeblik Soekarno-Hatta dan pil pahit jang terpaksa ditelan aleh rakjat
itoe, insja Allah bagi Oemmat Islam, jang masih berideologi Islam, akan
mendjadi sebab bangkit dan hergeraknja, mengangkat sendjata, menghadapi
moesoeh djahanam.
Oleh sebab itoe, tiada djalan lain bagi Oemmat
Islam Bangsa Indonesia, istimewa jang tinggal di daerah Repoeblik,
melainkan: sanggvep menerima Kvernia Allah, melakoekan Djihad fr
Sabilillah, medakoekan Perang Soetji, bagi mengenjahkan segenap moesoeh
Islam, moesoeh Negara dan moesoeh Allah, dan “last but not least”
mendirikan Negara Koernia Allah, ialah Negara l.slam Indonesia.
Seroean
Kami: Boelatkanlah niat soetji, niat membela Agama, Negara dan Oemmat.
Dengan tekad “Joeqtal aoe Jaghlib” dan dengan kejakinan jang tegoeh,
bahwa Allah akan memberi perlindoengan kepada orangorang dan Bangsa
serta Oemmat jang memperdjoeangkan Agama-Nja Insja Allah.
Kepada
saudara-saudara dan handai taulan daripada Bangsa Indonesia, jang rnasih
mengalir darah “Repoeblikeinen ” dalam toeboehnja dan masih berdjiwa
perdjoeangan: Ketahaeilah! Bahwa perdjoeangan jang kami oesahakan hingga
berdirinja Negara Islam Indonesia itoe adadah kelandjaetan perdjoeangan
kemerdekaan, menoeroet dan mengingat Proklamasi 17 Agoestoes 1945 !
Sekarang soedahlah tiba sa’atnja, segenap Bangsa Indonesia jang mengakoe
Uinta Kemerdekaan, Uinta Bangsa Uinta tanah air, Uinta agama,
menanggoeng wajib soe Ji, melakoekan perlawanan sekoeat moengkin
terhadap kepada Belanda. Ketahoeilah poela! Bahwa tiada soeatoe
Kemerdekaan jang dapat direboet, hanja dengan gojang-gojang kaki di atas
koersi belaka. Kemerdekaan kita, kemerdekaan Negara dan Kemerdekaan
Agama, haroes dan wadjib direboet kemhali dengan darah!
Hai,
Pemimpin pemimpin Islam dan Oemmat Islam seloeroehnja! Anggaplah
serboean Belanda dan djatoehnja Pemerintah Repoeblik Soekarno-Hatta
itoe, sebagai Koernia Toehan, jang dengan itve terboekadah kiranja
lapangan baroe, lapangan djihad dan kesernpatan jang seloeasloeasnja
oentoek menerima Koernia jang lebih besar lagi daripada Azza wa Jalla,
ialah: Lahirnja Negara Islam Indonesia jang merdeka. Terimalah Koernia
Allah itoe, walau agak pahit ditelannja sekalipoen. “
Dengan
berakhirnya Republik di Yogyakarta — dengan dikibarkannya bendera putih
di Karesidenan Yogyakarta — sebenarnya telah terdapat vakuum kekuasaan,
yang oleh S.M. Kartosoewirjo dipandang sebagai saat yang tepat untuk
memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Namun dia masih tetap mencoba
untuk memperoleh pimpinan komando tertinggi seeara legal. Dan S.M.
Kartosoewirjo sendiri telah menyatakan bahwa perjuangannya adalah
lanjutan dari proklamasi 17 Agustus 1945. Dan dia berharap agar Negara
Islam Indonesia yang sudah dia bentuk akhirnya akan dilegalisir meskipun
tanpa proklamasi.
Semua usaha dari pihak TII yang mencoba untuk
mengarahkan ke arah kerja sama melawan Belanda, mengalami kegagalan.
Kepada kesatuan TNT diberitahukan bahwa mereka sebaiknya menempatkan
diri di bawah komando Tentara Islam Indonesia. Dan diberitahukan pula
bahwa semenjak kaburnya mereka ke Jawa Tengah dalam rangka melaksanakan
perjanjian Renville, sesungguhnya yang memperjuangkan Jawa Barat adalah
Tentara Islam Indonesia bersama-sama dengan rakyat Jawa Barat bahu
membahu melaksanakan wajib sucinya mempertahankan bumi Indonesia dari
kekerasan dan kezaliman tentara Belanda.
Andai bukan karena
peperangan yang dipaksakan “RI-Djokja” kepada NII, andai “RI-Djokja”
tidak menganggap Negara Pasundan, negara boneka buatan Belanda lebih
pantas dijadikan kawan seiring dari pada NII yang gigih melawan Belanda
semenjak Jawa Barat ditinggalkan RI. Andai “RI Djokja” mau melakukan
perundingan jujur dengan negara baru yang menjadikan Al Quran dan Hadits
sebagai hukum tertinggi ini, tentu sejarah Nusantara pasca 1945 tidak
akan belepotan amis darah seperti sekarang ini.
Mengenal Lebih Dekat Sang Proklamator Negara Islam IndonesiaSekarmadji
Maridjan Karkosoewirjo demikian nama lengkap dari Kartosoewirjo,
dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan
Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah.
Kota Cepu ini menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan
bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik.
Ayahnya,
yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang
mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat
Rembang. Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris
Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewirjo mempunyai kedudukan
yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu, menimbulkan
pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya.
Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia
remaj anya.
Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin
mapannya “gerakan pencerahan Indonesia” ketika itu, Kartosoewirjo
dibesarkan dan berkembang. la terasuh di bawah sistem rasional Barat
yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis
ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan
suasana kehidupan keluarga yang liberal.
Masing-masing anggota
keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai
orientasi. la mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di
Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan
seorang kakak laki-laki yang memirnpin Serikat Buruh Kereta Api pada
tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.
Pada
tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat
itu Kartosoewirjo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche
School der Tweede Klasse) atau Sekolah “kelas dua” untuk kaum Humiputra
di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan seko}ah ke HIS
(Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang
tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah
ELS (Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra “priburni”, HIS dan
ELS merupakan sekolah elite. Hanya dengan kecerdasan dan bakat yang
khusus yang dirniliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang
direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan
masyarakat Indo-Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah
Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama
Notodihardjo yang menjadi “guru” agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern
yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo
sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam
pikir Kartosoewirjo. Pemikiranpemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana
Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam
masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada
tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, pergi ke Surabaya
melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS),
Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah initah (1926)
ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme
Indonesia di Surabaya.
Selama kuliah Kartosoewirjo mulai
berkenalan dengan pemikiranpemikiran Islam. la mulai “mengaji” secara
serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu “terasuki” oleh
shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua
aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat
untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah
tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu, yang diajarkan oleh sekolah
Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari
berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan
politik.
Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu,
ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah
pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran
Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi
Kartosoewirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah
karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumiah
buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko
Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada
zamannya.
Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya
karena “terasuki” ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh “komunis” karena
memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan
membahayakan. Padahal ideologi lslamlah yang sangat berbahaya bagi
penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosoewirjo
nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik
sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. la adalah seorang
ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan
mengakuinya sebagai searang ulama terbesar di Asia Tenggara.
Aktivitas KartosuwirjoSemenjak
tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya
gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika
anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya
mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke
organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua
organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah
gerakan pemuda yang sangat terkenal, “Sumpah Pemuda”.
Selain
bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia
Timur), Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian
Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi
reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda sekitar 22
tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam
kapasitasnya sebagai redaktur, mutailah dia menerbitkan berbagai artikel
yang isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik kepada penguasa
pribumi maupun penjajah Belanda.
Ketika dalam perjalanan tugasnya
itu dia pergi ke Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT
setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah
dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang
kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang
sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir
di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah
menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan
nasional.
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia,
Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia
masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam ‘Alaa
Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris
dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Dalam masa
pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga Suffah yang
pernah dia bentuk. Namun kali ini tebih banyak memberikan pendidikan
kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya.
Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah itu
akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah
perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara
Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada bulan Agustus 1945 menjelang
berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai
tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan
Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya
rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari
tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan
pada bulan Agustus 1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah
ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk
sernentara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar
“sekuler”-nya.
Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (l7
Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah yang rnemegang tampuk
kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsipprinsip kenegaraan
modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir
secara sistematis dan hingga akhir ?0-an kalangan Islam berada di luar
negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan
Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai
secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk
selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
Situasi
yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan
ditandatanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan
Belanda. Di mana pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan
senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI
harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit
bagi Republik. Tempat-ternpat penting yang strategis bagi pasukannya di
daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan
semua pasukan harus ditarik mundur –atau “kabur” dalam istilah
orang-orang DI-ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, Tentara Republik
resmi dalam Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi
ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut “kaburnya” TNI ini dengan
memakai isti(ah Islam, “Hijrah “. Dengan sebutan ini dia menipu jutaan
rakyat Muslim. Namun berbeda dengan pasukan gerilyawan Hizbullah dan
Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa
Barat, menolak untuk mematuhinya.
Hizbullah dan Sabilillah lebih
tahu apa makna “Hijrah ” itu. Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu
perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami
kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi
Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang
kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatui Istamiyah atau Darul Islam
atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai
DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat
yang fobi dengan Negara Islam sebagai “Islam muncul dalam wajah yang
tegang.” Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah
“pemberontakan”. Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah
“pemberontakan”, maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. la
merupakan sebuah perjuangan suci antikezhaliman yang terbesar di dunia
di awal abad ke-20 ini. “Pemberontakan” bersenjata yang sempat menguras
habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah
pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional,
bukan “pemberontakan” yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan
politik lainnya, melainkan karena sebuah “citacita”, sebuah “mimpi” yang
diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.
Akhirnya,
perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah
Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper, 16 Agustur 1962,
menyatakan bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara
Islam Indonesia itu adalah sebuah “pemberontakan”. Hukuman mati kemudian
diberikan kepada mujahid Kartosoewirjo.
Tentang kisah wafatnya
Kartosoewirjo, ternyata Soekarno dan A.H. Nasution cukup menyadari bahwa
Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus
dirindukan umat. Maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung Umar
Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika
mengeksekusi Imam Negara Islam ini.
Sekalipun jasad beliau telah
tiada dan tidak diketahui di mana pusaranya berada karena alasan-alasan
tertentu dari pemerintahan Soekarno, tapi jiwa dan perjuangannya akan
tetap hidup sepanjang masa. Sejarah Indonesia telah mencatat walaupun
dimanipulasi dan sekarang bertambah lagi dengan darah mujahid Asy-syahid
S.M. Kartosoewirjo. HARI INI KAMI MENGHORMATIMU, BESOK KAMI BERSAMAMU!
Insya Allah. Itulah makna dari firman Allah: “Dan janganlah kamu
mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka
itu mati); bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak
menyadarinya”. (QS. 2:154).
Sumber : (Al Chaidar, Pengantar
Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo,
Pen. Darul Falah, Jakarta)